Demokrasi kita saat ini telah menghasilkan beberapa indikasi kemajuan, yaitu berlangsungnya pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung, bahkan mendapatkan gelar pemilu damai dalam standar internasional. Apakah Benar.!?
Oleh : Mamas Sumarno, F200630065
Pemberantasan KKN menunjukkan langkah kemajuan yang cukup signifikan dengan gebrakan-gebrakan yang dilakukan KPK dan Tipikor. Iklim demokrasi kita juga telah membuka kebebasan pers yang selama masa orde baru dibungkam. Kebebasan berpendapat baik melalui forum-forum terbuka, media maupun demonstrasi dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sebagian masyarakat masih mempertanyakan arah reformasi dan demokrasi kita yang dinilai telah kebablasan. Banyak kalangan menganggap perjalanan demokrasi akhir-akhir ini justru menambah problem bagi rakyat. Mereka menuntut kembali kepada konsensus awal didirikannya negara Indonesia, yaitu UUD 45. Sebagian yang lain melihat bahwa demokrasi telah membawa paham-paham lainnya secara bebas merasuki bangsa Indonesia seperti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Karena itulah MUI mengeluarkan fatwa menolak pluralisme, sekularisme dan liberalisme yang dianggap telah merusak tatanan keagamaan dan keutuhan bangsa Indonesia. Selain itu, dalam segi perekonomian, rakyat banyak yang kecewa terhadap demokrasi karena tidak berdampak pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan tingkat keamanan justru menurun akibat kekhawatiran aparat keamanan terhadap pelanggaran HAM.
Lantas, bagaimana kita memahami dan menerapkan demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, terutama falsafah negara Pancasila?
Paralelisasi Demokrasi dan Liberalisme
Suatu kebebasan merangsang hal-hal yang akan menyelamatkan manusia dan mempertinggi suatu kebebasan, seperti persamaan hak, pemerintahan konstitusional, aturan hukum, dan toleransi. Namun demikian liberalisme mempunyai banyak tafsir sehingga menimbulkan pertentangan. Dalam pemikiran politik dan sosial, liberalisme akhirnya menentang pandangan Zaman Pertengahan. Liberalisme menawarkan konsep alternatif tentang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya rasional dan mampu menjalankan urusannya tanpa memerlukan pengawasan. Cita-cita Barat sebagian besar adalah cita-cita liberal dan liberalisme yang disebut-sebut sebagai ideologi dunia modern yang paling berhasil. Keberhasilan ini dipertegas oleh runtuhnya rezim-rezim komunisme Eropa sejak tahun 1989 yang menandai tidak ada lagi pesaing yang serius bagi liberalisme.
Perkembangan liberalisme kemudian menempatkan posisi negara tidak kuat, karena negara harus menghapus intervensinya dan membiarkan mekanisme pasar bekerja, melakukan deregulasi dengan mengurangi segenap restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokrasi perdagangan, dan mencabut atau menghilangkan tarif bagi perdagangan demi terjaminnya free trade. Dengan kata lain, bebas dari kontrol negara, atau individu bebas menjalankan persaingan bebas.
Mekanisme pasar yang begitu bebas mengakibatkan terdapat sebagian masyarakat dunia yang memiliki kemampuan ekonomi dan pengetahuan menjadi ultraliberal. Ultralibrealisme ini ditandai muncul dan berkembangnya jaringan ekonomi global, perusahaan-perusahaan besar meluaskan jaringannya ke negara berkembang, yang dikenal dengan istilah MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation) dan berpusat di negara kapitalis. Relasi antara negara-negara berubah menjadi sebatas kepentingan pasar. Muncul istilah National Corporation (bangsa perusahaan), dan State of Market (negara pasar).
Sementara itu demokrasi menurut Barat merupakan arus liberalisme dan globalisasi atau mengikuti hukum Barat. Secara historis-sosiologis sistem ini muncul sebagai anti-tesis dari otoritas Gereja. Pada awalnya demokrasi digunakan untuk membebaskan rakyat dari ketergantungan kepada para elite agama sekaligus mengembalikan hak-hak rakyat yang mereka rampas. Perlu ditegaskan bahwa sistem demokrasi Barat yang sekuler dan liberal tidak mungkin diterapkan secara gamblang di Indonesia karena berbenturan dengan kultur dan psikologi mayoritas masyarakat.
Demokrasi yang harus dikembangkan di Indonesia adalah sistem kehidupan yang merujuk kepada khazanah Islam klasik dengan karakter nasionalisme-relijius. Demokrasi yang ditegakkan di Indonesia adalah demokrasi yang dituntun dengan pemikiran relijius (ketuhanan). Saat ini demokrasi adalah sistem yang paling dekat dan sangat mungkin dijadikan metode untuk mengaktualisasikan ajaran Islam secara bebas, utuh, dan sistematis di Indonesia. Sebenarnya, nilai-nilai liberty dalam Islam dapat dilihat dalam sejarah lahirnya Islam yang telah membebaskan bangsa Quraish dari masa kejahilian.
Namun, kebebasan bukanlah suasana yang selamanya memberikan kebaikan atau kesejahteraan manusia. Sisi lain dari kebebasan adalah munculnya kecenderungan kekerasan. Gelombang reformasi mengumbar semangat kebebasan dan pembebasan mengartikulasikan identitas-identitas yang selama ini hanya bergerilya di bawah tanah (grassroot). Guncangan itu pun membuka kran-kran separatis dan perebutan kekuasaan yang lebih rumit lagi. Akhirnya, reformasi itu pun ada di persimpangan jalan. Indonesia dalam situasi ketidakpastian.
Situasi ketidakpastian ini pun berefek bagi keberagamaan Islam di Indonesia. Perkembangan Islam di Indonesia yang selama ini dapat dibaca terkait dengan rasa kedamaian dan toleran budaya Indonesia, dipertanyakan kembali. Berbagai kekerasan yang terjadi pasca reformasi menjadi tontonan yang menghantui. Kekerasan itu pun merambah ke sikap keberagamaan masyarakat Islam. Radikalisme agama mendapatkan momentumnya ketika modernisasi yang dilakukan Orba tidak mengantarkan Indonesia menjadi masyarakat yang adil dan sejahtera. Jaringan kelompok radikalis itu pun dengan berani secara terbuka muncul di permukaan. Kini, masyarakat menyadari kalau jaringan radikal ternyata telah mengakar dan membentuk komunitasnya secara massif dan terorganisir.
Kesadaran telah bangkitnya radikalis Islam pun ternyata telah menghentakkan dunia internasional. Hentakan itu ditandai dengan terjadinya Peristiwa Pengeboman WTC Washington 11 September. Terlepas dari berbagai anasir siapa dalangnya terjadinya peristiwa itu, nyatanya telah menghantarkan pandangan dunia terhadap wajah kekerasan muslim. Maraknya aksi terorisme telah menyibukkan seluruh negara di dunia terutama negara Islam karena seolah dialamatkan bagi masyarakat muslim. Di Indonesia, terjadinya beberapa pengeboman pun dengan mudah dikaitkan dengan jaringan terorisme tersebut.
Kekerasan juga muncul dalam bentuk konflik antaretnis atau antaragama. Gelombang kerusuhan anti-Cina di Jakarta, Solo, Medan, konflik etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku dan Poso, gerakan-gerakan separatis Aceh dan Papua, protes dari kaum fundamamentalis Islam serta merebaknya tuntutan-tuntutan untuk memerintah sendiri di berbagai daerah setelah tumbangnya rezim Orde Baru, menunjukkan adanya problem-problem identitas dan multikultural yang mengancam keutuhan bangsa dan jalannya demokrasi. Kerusuhan-kerusuhan SARA dapat dihitung sebagai gerakan-gerakan horisontal yang dilakukan oleh 'kelompok-kelompok etnis'. Selain itu, perjuangan-perjuangan separatis dan tuntutan merdeka dapat disebut gerakan-gerakan vertikal yang dilakukan 'minoritas-minoritas nasional'.
Selain itu, aksi-aksi demontrasi sering terjadi baik terkait dengan ketidakadilan ekonomi, kenaikan BBM, ketidakpuasan hasil pilkada, money politic dan lain sebagainya terkadang bersifat anarkhis. Aksi-aksi tersebut bahkan telah jauh menginjak-injak lembaga-lembaga negara secara berlebihan. Dan yang memprihatinkan banyak NGO-NGO asing yang turut memberikan dukungan dan bantuan.
Pancasila sebagai paramater demokrasi kita
Pancasila sebagai falsafah negara memuat nilai-nilai esensial demokrasi. Agar demokrasi tidak memberikan kebebasan yang kebablasan dan mengakibatkan aksi-aski kekerasan, maka Pancasila harus dijadikan parameter dalam proses demokrasi kita. Sebagai suatu paramater, pancasila harus dipahami dengan paradigma yang mampu memberikan pedoman sekaligus jawaban bagi berbagai problem proses demokratisasi Indonesia. Paradigma tersebut adalah:
1. Tauhid
Bahwa keesaan Tuhan dilihat dari perspektif agamanya masing-masing dan tidak diperkenankan untuk melakukan perbandingan apalagi menilai agama lain. Ketauhidan ini tepatnya untuk membangun kehidupan yang relijius berdasarkan nilai-nilai agama masing-masing dan bukan berarti harus membenarkan semua agama.
Secara historis bangsa Indonesia memiliki agama nenek moyang sebanyak lima yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu, sehingga kelima agama tersebut telah menjadi kultur dan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesua. Jika terdapat agama baru, maka membutuhkan kesepakatan baru dan perjalanan tradisi yang mengujinya. Dalam kaitannya dengan negara (kerajaan), sejarah kerajaan zaman dahulu tidak pernah disebutkan suatu kerajaan Hindu atau kerajaan Islam, melainkan kerajaan majapahit atau kerajaan Demak. Hal ini menujukkan bahwa negara Pancasila sebagai hybrid budaya adalah jalan tengah (middle path) antara negara agama dan negara sekuler. Negara Pancasila lebih cocok dengan tradisi agama dan politik di Indonesia.
Sejarah bangsa telah menunjukkan bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai yang mengedepankan sifat inklusif dalam religiusitas. Bahkan mereka yang memiliki jiwa nasionalis yang tinggi tetap menekankan adanya citra religius dalam perjuangannya. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menunjukkan pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa.
Dalam Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung negara. Negara Pancasila menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan satu agama sebagai agama negara. Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkaitan dengan tradisi keagamaan tertentu. Agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena Negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.
Prinsip yang perlu dikembangkan adalah no preference - peduli tetapi tidak diskriminatif, bukan wall of separation - bukan tidak peduli sama sekali. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme, multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi, dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara.
Oleh karena itu, sikap yang dikembangkan adalah saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berpikir dan bersikap positif, serta pengayaan iman. Sikap lain yang perlu dikembangkan adalah sikap relatively absolute atau absolutely relative, bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikaitkan dengan yang lain. Dengan demikian, demokrasi yang dikembangkan berdasarkan Pancasila adalah demokrasi yang religius. Sikap inilah yang menjadi paradigma
2. Toleransi (Tasumuh)
Prinsip toleransi yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya (toleransi pasif), atau membantunya dalam melaksanakan keimannya itu (toleransi aktif). Terciptanya tasamuh (toleransi) terutama dalam kehidupan beragama dan bersuku bangsa, akan meminimalisir terjadinya politisir agama dan radikalisme agama. Jika sikap keberagamaan tidak memiliki nilai-nilai tasamuh, tentu akan membentuk suatu fanatisme yang berlebihan. Nilai-nilai tasamuh ini telah dibangun bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Bahkan sejarah telah menunjukkan bangsa Indonesia memiliki budaya yang luhur. Budaya yang luhur tersebut sejalan dengan kehidupan sufisme dalam Islam, sehingga Islam diterima dengan mudah. Oleh karena itu kehidupan sufisme menjadi ikatan yang penting untuk membangun kehidupan yang demokratis karena pada dasarnya sikap inklusifitas dan menerima keberadaan yang lain merupakan inti dari sufisme.
3. Ta'addudiyah / Pluralisme
Tuhan telah menciptakan keberagaman agama, berbagai bangsa, suku, ras dan lain sebagainya agar selalu berhubungan dan menjalin ta'aruf (komunikasi dan solidaritas). Ta'aruf berarti saling mengenal satu sama lain. Jika telah mengenal dan memahami dengan baik dan jernih, diharapkan masing-masing dapat saling menghargai dan mengakui keberadaan masing-masing. Formulasi ta'aruf tersebut dapat berbentuk ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah islamiyah. Dalam wujudnya, ta'aruf membutuhkan adanya suatu pengakuan atas berbagai perbedaan terutama pengakuan pihak mayoritas terhadap minoritas. Di Indonesia, kemajemukan masyarakat adalah suatu keniscayaan dan kenyataan.
Oleh karena itu, bukan menyamakan/homogenisasi yang harus dilakukan, melainkan masing-masing harus mengakui eksistensi yang lain. Sehingga pengaturan hubungan antara berbagai keberagaman tersebut membutuhkan suatu kanalisasi. Berbeda dengan keanekaragaman di Barat yang cenderung mengalami proses asimilasi dan menilai semua agama sama. Penilaian ini justru akan mengakibatkan perpecahan. Pluralisme yang dimaknai bahwa semua agama sama inilah yang sebenarnya ditolak oleh fatwa MUI.
Dalam proses kanalisasi ini memerlukan suatu kerjasama (ta'awun) yang sinergis dalam membangun kehidupan yang relijius dan humanis. Nilai-nilai kerjasama ini disarikan dari al Qur'an dan nilai budaya Indonesia. Demokrasi yang relijius dalam kehidupan yang pluralis di atas harus senantiasa diikuti dengan suatu kerjasama dengan mempertimbangan keseimbangan.
Demokrasi tidaklah berdasar atas hak-hak mayoritas, tapi suatu pengakuan bahwa semua adalah bagian dari suatu negara. Dan sebagai warga negara semua mempunyai hak. Bukan sekedar hak tetapi semacam dignitas politik supaya jangan sampai ada anggapan orang lain sebagai musuh. Kegagalan untuk mengakomodir pluralitas akibatnya adalah masifikasi kekerasan. Kerjasama antara kesatuan sosial yang ada di masyarakat, dan antara masyarakat dengan negara untuk memperbesar dan melembagakan tradisi toleransi (tasamuh) menjadi upaya mendesak yang harus dilakukan.
Maka tidak berlebihan jika dalam wilayah keindonesiaan, kerja sama antarwarga negara dan menghargai kemajemukan beragama diterima umat Islam dengan semangat ukhuwah. Bahwa bukan Pancasila yang telah mengalami distorsi dari maksud dan cita-cita sebenarnya yang dicanangkan para pendiri Republik ini, tetapi kepentingan politik yang memutarbalikkan orientasi falsafah negara itu. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini, adalah kerjasama lintas agama dan kultural untuk memperdayakan suatu budaya nasional dan budaya politik yang berangkat dari akar-akar sosial budaya yang ada di masyarakat.
4. Keseimbangan (Tawasuth)
Sejarah panjang bangsa Indonesia yang didukung dengan situasi kosmologis Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia selalu mencari jalan tengah. Bahkan Pancasila itu sendiri merupakan jalan tengah hubungan antara agama dan negara. Sejak zaman dahulu, upaya mencari jalan tengah ini dilakukan kerajaan-kerajaan dalam menerima sesuatu yang baru dari luar kerajaan. Dalam konteks sekarang, mencari jalan tengah tersebut sering disebut sebagai upaya moderasi. Tentu saja, moderasi yang dilakukan bukan moderasi asal terima saja, melainkan moderasi yang rasional namun tidak berlebihan. Sikap moderasi ini terkait dengan sikap keterbukaan bangsa Indonesia terhadap dunia luar. Kita bisa simak semua agama yang ada di Indonesia, tentu sangat berbeda dengan sumber agama berasal. Tradisi Islam di Indonesia sangat berbeda dengan tradisi Islam di Arab. Hal ini karena sebelum kedatangan Islam, di bumi nusantara ini telah ada tradisi asli yang secara esensial tidak berbeda dengan ajaran Islam. Contoh lain, dalam hal politik luar negeri Indonesia bersikap bebas aktif, artinya tidak memihak antara blok-blok yang berhadapan.
Namun demikian, sikap moderasi ini tidak berjalan sendiri. Selain berdasarkan prinsip-prinsip relijius dan pluralis, juga dibarengi dengan keseimbangan (tawazun) dan keadilan. Tawazun sebagai paradigma kelima, memberikan suatu batas bagi kebebasan (liberalisme) agar tidak kebablasan. Misalnya, keseimbangan dalam memperlakukan kebebasan individu. Sebagai makhluk sosial, tentu saja kebebasan antara individu harus disertai dengan penghormatan dan menjaga hak asasi/kebebasan individu yang lain. Ketika keseimbangan dalam menempatkan diri dapat dilakukan, niscaya keseimbangan dalam mengelola kekuasaan negara dapat diwujudkan. Selama ini bangsa Indonesia tidak berhasil membangun keseimbangan dalam pembagian kekuasaan, sehingga mengakibatkan sering terjadinya krisis politik. Keseimbangan ini juga penting dalam mewujudkan keadilan bagi rakyat Indonesia. Keseimbangan dalam pola hubungan pusat dan daerah akan sangat menentukan utuhnya integrasi bangsa. Dan masih banyak lagi sisi kehidupan yang sangat membutuhkan adanya suatu keseimbangan agar tidak memiliki sifat fanatisme, ekstrimisme dan radikalisme. Bahkan dalam ajaran Islam, antara kepentingan akhirat dan dunia harus dijalankan secara seimbang. Hubungan antara manusia dengan Khaliknya (hablun minallah) dan antara manusia dengan manusia (hablun minannas) juga harus seimbang. Dalam kaitannya dengan demokrasi, keseimbangan merupakan faktor terpenting dalam memberikan kesamaan hak dan kewajiban bagi rakyat. Bahkan jika kita mampu mengelola kepentingan nasional, internasional dan lokal secara seimbang dalam proses demokratisasi di Indonesia, maka stabilitas ekonomi, politik dan keamanan akan terwujud.
Demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan ke dalam sebuah sistem yang merupakan alat bagi rakyat dalam menciptakan kesejahteraannya. Rakyat benar-benar ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika selama ini kita mengalami kebingungan atau kesimpangsiuran menyelenggarakan demokrasi yang tepat bagi bangsa Indonesia, maka kita harus menjadikan Pancasila sebagai parameter demokratisasi Indonesia. Dengan beberapa paradigma di atas, semoga dapat memberikan jalan agar dapat mengimplementasikan Pancasila dalam proses demokrasi kita.
Oleh : Mamas Sumarno, F200630065
Pemberantasan KKN menunjukkan langkah kemajuan yang cukup signifikan dengan gebrakan-gebrakan yang dilakukan KPK dan Tipikor. Iklim demokrasi kita juga telah membuka kebebasan pers yang selama masa orde baru dibungkam. Kebebasan berpendapat baik melalui forum-forum terbuka, media maupun demonstrasi dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sebagian masyarakat masih mempertanyakan arah reformasi dan demokrasi kita yang dinilai telah kebablasan. Banyak kalangan menganggap perjalanan demokrasi akhir-akhir ini justru menambah problem bagi rakyat. Mereka menuntut kembali kepada konsensus awal didirikannya negara Indonesia, yaitu UUD 45. Sebagian yang lain melihat bahwa demokrasi telah membawa paham-paham lainnya secara bebas merasuki bangsa Indonesia seperti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Karena itulah MUI mengeluarkan fatwa menolak pluralisme, sekularisme dan liberalisme yang dianggap telah merusak tatanan keagamaan dan keutuhan bangsa Indonesia. Selain itu, dalam segi perekonomian, rakyat banyak yang kecewa terhadap demokrasi karena tidak berdampak pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan tingkat keamanan justru menurun akibat kekhawatiran aparat keamanan terhadap pelanggaran HAM.
Lantas, bagaimana kita memahami dan menerapkan demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, terutama falsafah negara Pancasila?
Paralelisasi Demokrasi dan Liberalisme
Suatu kebebasan merangsang hal-hal yang akan menyelamatkan manusia dan mempertinggi suatu kebebasan, seperti persamaan hak, pemerintahan konstitusional, aturan hukum, dan toleransi. Namun demikian liberalisme mempunyai banyak tafsir sehingga menimbulkan pertentangan. Dalam pemikiran politik dan sosial, liberalisme akhirnya menentang pandangan Zaman Pertengahan. Liberalisme menawarkan konsep alternatif tentang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya rasional dan mampu menjalankan urusannya tanpa memerlukan pengawasan. Cita-cita Barat sebagian besar adalah cita-cita liberal dan liberalisme yang disebut-sebut sebagai ideologi dunia modern yang paling berhasil. Keberhasilan ini dipertegas oleh runtuhnya rezim-rezim komunisme Eropa sejak tahun 1989 yang menandai tidak ada lagi pesaing yang serius bagi liberalisme.
Perkembangan liberalisme kemudian menempatkan posisi negara tidak kuat, karena negara harus menghapus intervensinya dan membiarkan mekanisme pasar bekerja, melakukan deregulasi dengan mengurangi segenap restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokrasi perdagangan, dan mencabut atau menghilangkan tarif bagi perdagangan demi terjaminnya free trade. Dengan kata lain, bebas dari kontrol negara, atau individu bebas menjalankan persaingan bebas.
Mekanisme pasar yang begitu bebas mengakibatkan terdapat sebagian masyarakat dunia yang memiliki kemampuan ekonomi dan pengetahuan menjadi ultraliberal. Ultralibrealisme ini ditandai muncul dan berkembangnya jaringan ekonomi global, perusahaan-perusahaan besar meluaskan jaringannya ke negara berkembang, yang dikenal dengan istilah MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation) dan berpusat di negara kapitalis. Relasi antara negara-negara berubah menjadi sebatas kepentingan pasar. Muncul istilah National Corporation (bangsa perusahaan), dan State of Market (negara pasar).
Sementara itu demokrasi menurut Barat merupakan arus liberalisme dan globalisasi atau mengikuti hukum Barat. Secara historis-sosiologis sistem ini muncul sebagai anti-tesis dari otoritas Gereja. Pada awalnya demokrasi digunakan untuk membebaskan rakyat dari ketergantungan kepada para elite agama sekaligus mengembalikan hak-hak rakyat yang mereka rampas. Perlu ditegaskan bahwa sistem demokrasi Barat yang sekuler dan liberal tidak mungkin diterapkan secara gamblang di Indonesia karena berbenturan dengan kultur dan psikologi mayoritas masyarakat.
Demokrasi yang harus dikembangkan di Indonesia adalah sistem kehidupan yang merujuk kepada khazanah Islam klasik dengan karakter nasionalisme-relijius. Demokrasi yang ditegakkan di Indonesia adalah demokrasi yang dituntun dengan pemikiran relijius (ketuhanan). Saat ini demokrasi adalah sistem yang paling dekat dan sangat mungkin dijadikan metode untuk mengaktualisasikan ajaran Islam secara bebas, utuh, dan sistematis di Indonesia. Sebenarnya, nilai-nilai liberty dalam Islam dapat dilihat dalam sejarah lahirnya Islam yang telah membebaskan bangsa Quraish dari masa kejahilian.
Namun, kebebasan bukanlah suasana yang selamanya memberikan kebaikan atau kesejahteraan manusia. Sisi lain dari kebebasan adalah munculnya kecenderungan kekerasan. Gelombang reformasi mengumbar semangat kebebasan dan pembebasan mengartikulasikan identitas-identitas yang selama ini hanya bergerilya di bawah tanah (grassroot). Guncangan itu pun membuka kran-kran separatis dan perebutan kekuasaan yang lebih rumit lagi. Akhirnya, reformasi itu pun ada di persimpangan jalan. Indonesia dalam situasi ketidakpastian.
Situasi ketidakpastian ini pun berefek bagi keberagamaan Islam di Indonesia. Perkembangan Islam di Indonesia yang selama ini dapat dibaca terkait dengan rasa kedamaian dan toleran budaya Indonesia, dipertanyakan kembali. Berbagai kekerasan yang terjadi pasca reformasi menjadi tontonan yang menghantui. Kekerasan itu pun merambah ke sikap keberagamaan masyarakat Islam. Radikalisme agama mendapatkan momentumnya ketika modernisasi yang dilakukan Orba tidak mengantarkan Indonesia menjadi masyarakat yang adil dan sejahtera. Jaringan kelompok radikalis itu pun dengan berani secara terbuka muncul di permukaan. Kini, masyarakat menyadari kalau jaringan radikal ternyata telah mengakar dan membentuk komunitasnya secara massif dan terorganisir.
Kesadaran telah bangkitnya radikalis Islam pun ternyata telah menghentakkan dunia internasional. Hentakan itu ditandai dengan terjadinya Peristiwa Pengeboman WTC Washington 11 September. Terlepas dari berbagai anasir siapa dalangnya terjadinya peristiwa itu, nyatanya telah menghantarkan pandangan dunia terhadap wajah kekerasan muslim. Maraknya aksi terorisme telah menyibukkan seluruh negara di dunia terutama negara Islam karena seolah dialamatkan bagi masyarakat muslim. Di Indonesia, terjadinya beberapa pengeboman pun dengan mudah dikaitkan dengan jaringan terorisme tersebut.
Kekerasan juga muncul dalam bentuk konflik antaretnis atau antaragama. Gelombang kerusuhan anti-Cina di Jakarta, Solo, Medan, konflik etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku dan Poso, gerakan-gerakan separatis Aceh dan Papua, protes dari kaum fundamamentalis Islam serta merebaknya tuntutan-tuntutan untuk memerintah sendiri di berbagai daerah setelah tumbangnya rezim Orde Baru, menunjukkan adanya problem-problem identitas dan multikultural yang mengancam keutuhan bangsa dan jalannya demokrasi. Kerusuhan-kerusuhan SARA dapat dihitung sebagai gerakan-gerakan horisontal yang dilakukan oleh 'kelompok-kelompok etnis'. Selain itu, perjuangan-perjuangan separatis dan tuntutan merdeka dapat disebut gerakan-gerakan vertikal yang dilakukan 'minoritas-minoritas nasional'.
Selain itu, aksi-aksi demontrasi sering terjadi baik terkait dengan ketidakadilan ekonomi, kenaikan BBM, ketidakpuasan hasil pilkada, money politic dan lain sebagainya terkadang bersifat anarkhis. Aksi-aksi tersebut bahkan telah jauh menginjak-injak lembaga-lembaga negara secara berlebihan. Dan yang memprihatinkan banyak NGO-NGO asing yang turut memberikan dukungan dan bantuan.
Pancasila sebagai paramater demokrasi kita
Pancasila sebagai falsafah negara memuat nilai-nilai esensial demokrasi. Agar demokrasi tidak memberikan kebebasan yang kebablasan dan mengakibatkan aksi-aski kekerasan, maka Pancasila harus dijadikan parameter dalam proses demokrasi kita. Sebagai suatu paramater, pancasila harus dipahami dengan paradigma yang mampu memberikan pedoman sekaligus jawaban bagi berbagai problem proses demokratisasi Indonesia. Paradigma tersebut adalah:
1. Tauhid
Bahwa keesaan Tuhan dilihat dari perspektif agamanya masing-masing dan tidak diperkenankan untuk melakukan perbandingan apalagi menilai agama lain. Ketauhidan ini tepatnya untuk membangun kehidupan yang relijius berdasarkan nilai-nilai agama masing-masing dan bukan berarti harus membenarkan semua agama.
Secara historis bangsa Indonesia memiliki agama nenek moyang sebanyak lima yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu, sehingga kelima agama tersebut telah menjadi kultur dan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesua. Jika terdapat agama baru, maka membutuhkan kesepakatan baru dan perjalanan tradisi yang mengujinya. Dalam kaitannya dengan negara (kerajaan), sejarah kerajaan zaman dahulu tidak pernah disebutkan suatu kerajaan Hindu atau kerajaan Islam, melainkan kerajaan majapahit atau kerajaan Demak. Hal ini menujukkan bahwa negara Pancasila sebagai hybrid budaya adalah jalan tengah (middle path) antara negara agama dan negara sekuler. Negara Pancasila lebih cocok dengan tradisi agama dan politik di Indonesia.
Sejarah bangsa telah menunjukkan bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai yang mengedepankan sifat inklusif dalam religiusitas. Bahkan mereka yang memiliki jiwa nasionalis yang tinggi tetap menekankan adanya citra religius dalam perjuangannya. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menunjukkan pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa.
Dalam Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung negara. Negara Pancasila menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan satu agama sebagai agama negara. Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkaitan dengan tradisi keagamaan tertentu. Agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena Negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.
Prinsip yang perlu dikembangkan adalah no preference - peduli tetapi tidak diskriminatif, bukan wall of separation - bukan tidak peduli sama sekali. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme, multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi, dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara.
Oleh karena itu, sikap yang dikembangkan adalah saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berpikir dan bersikap positif, serta pengayaan iman. Sikap lain yang perlu dikembangkan adalah sikap relatively absolute atau absolutely relative, bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi tetap relatif bila dikaitkan dengan yang lain. Dengan demikian, demokrasi yang dikembangkan berdasarkan Pancasila adalah demokrasi yang religius. Sikap inilah yang menjadi paradigma
2. Toleransi (Tasumuh)
Prinsip toleransi yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya (toleransi pasif), atau membantunya dalam melaksanakan keimannya itu (toleransi aktif). Terciptanya tasamuh (toleransi) terutama dalam kehidupan beragama dan bersuku bangsa, akan meminimalisir terjadinya politisir agama dan radikalisme agama. Jika sikap keberagamaan tidak memiliki nilai-nilai tasamuh, tentu akan membentuk suatu fanatisme yang berlebihan. Nilai-nilai tasamuh ini telah dibangun bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Bahkan sejarah telah menunjukkan bangsa Indonesia memiliki budaya yang luhur. Budaya yang luhur tersebut sejalan dengan kehidupan sufisme dalam Islam, sehingga Islam diterima dengan mudah. Oleh karena itu kehidupan sufisme menjadi ikatan yang penting untuk membangun kehidupan yang demokratis karena pada dasarnya sikap inklusifitas dan menerima keberadaan yang lain merupakan inti dari sufisme.
3. Ta'addudiyah / Pluralisme
Tuhan telah menciptakan keberagaman agama, berbagai bangsa, suku, ras dan lain sebagainya agar selalu berhubungan dan menjalin ta'aruf (komunikasi dan solidaritas). Ta'aruf berarti saling mengenal satu sama lain. Jika telah mengenal dan memahami dengan baik dan jernih, diharapkan masing-masing dapat saling menghargai dan mengakui keberadaan masing-masing. Formulasi ta'aruf tersebut dapat berbentuk ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah islamiyah. Dalam wujudnya, ta'aruf membutuhkan adanya suatu pengakuan atas berbagai perbedaan terutama pengakuan pihak mayoritas terhadap minoritas. Di Indonesia, kemajemukan masyarakat adalah suatu keniscayaan dan kenyataan.
Oleh karena itu, bukan menyamakan/homogenisasi yang harus dilakukan, melainkan masing-masing harus mengakui eksistensi yang lain. Sehingga pengaturan hubungan antara berbagai keberagaman tersebut membutuhkan suatu kanalisasi. Berbeda dengan keanekaragaman di Barat yang cenderung mengalami proses asimilasi dan menilai semua agama sama. Penilaian ini justru akan mengakibatkan perpecahan. Pluralisme yang dimaknai bahwa semua agama sama inilah yang sebenarnya ditolak oleh fatwa MUI.
Dalam proses kanalisasi ini memerlukan suatu kerjasama (ta'awun) yang sinergis dalam membangun kehidupan yang relijius dan humanis. Nilai-nilai kerjasama ini disarikan dari al Qur'an dan nilai budaya Indonesia. Demokrasi yang relijius dalam kehidupan yang pluralis di atas harus senantiasa diikuti dengan suatu kerjasama dengan mempertimbangan keseimbangan.
Demokrasi tidaklah berdasar atas hak-hak mayoritas, tapi suatu pengakuan bahwa semua adalah bagian dari suatu negara. Dan sebagai warga negara semua mempunyai hak. Bukan sekedar hak tetapi semacam dignitas politik supaya jangan sampai ada anggapan orang lain sebagai musuh. Kegagalan untuk mengakomodir pluralitas akibatnya adalah masifikasi kekerasan. Kerjasama antara kesatuan sosial yang ada di masyarakat, dan antara masyarakat dengan negara untuk memperbesar dan melembagakan tradisi toleransi (tasamuh) menjadi upaya mendesak yang harus dilakukan.
Maka tidak berlebihan jika dalam wilayah keindonesiaan, kerja sama antarwarga negara dan menghargai kemajemukan beragama diterima umat Islam dengan semangat ukhuwah. Bahwa bukan Pancasila yang telah mengalami distorsi dari maksud dan cita-cita sebenarnya yang dicanangkan para pendiri Republik ini, tetapi kepentingan politik yang memutarbalikkan orientasi falsafah negara itu. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini, adalah kerjasama lintas agama dan kultural untuk memperdayakan suatu budaya nasional dan budaya politik yang berangkat dari akar-akar sosial budaya yang ada di masyarakat.
4. Keseimbangan (Tawasuth)
Sejarah panjang bangsa Indonesia yang didukung dengan situasi kosmologis Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia selalu mencari jalan tengah. Bahkan Pancasila itu sendiri merupakan jalan tengah hubungan antara agama dan negara. Sejak zaman dahulu, upaya mencari jalan tengah ini dilakukan kerajaan-kerajaan dalam menerima sesuatu yang baru dari luar kerajaan. Dalam konteks sekarang, mencari jalan tengah tersebut sering disebut sebagai upaya moderasi. Tentu saja, moderasi yang dilakukan bukan moderasi asal terima saja, melainkan moderasi yang rasional namun tidak berlebihan. Sikap moderasi ini terkait dengan sikap keterbukaan bangsa Indonesia terhadap dunia luar. Kita bisa simak semua agama yang ada di Indonesia, tentu sangat berbeda dengan sumber agama berasal. Tradisi Islam di Indonesia sangat berbeda dengan tradisi Islam di Arab. Hal ini karena sebelum kedatangan Islam, di bumi nusantara ini telah ada tradisi asli yang secara esensial tidak berbeda dengan ajaran Islam. Contoh lain, dalam hal politik luar negeri Indonesia bersikap bebas aktif, artinya tidak memihak antara blok-blok yang berhadapan.
Namun demikian, sikap moderasi ini tidak berjalan sendiri. Selain berdasarkan prinsip-prinsip relijius dan pluralis, juga dibarengi dengan keseimbangan (tawazun) dan keadilan. Tawazun sebagai paradigma kelima, memberikan suatu batas bagi kebebasan (liberalisme) agar tidak kebablasan. Misalnya, keseimbangan dalam memperlakukan kebebasan individu. Sebagai makhluk sosial, tentu saja kebebasan antara individu harus disertai dengan penghormatan dan menjaga hak asasi/kebebasan individu yang lain. Ketika keseimbangan dalam menempatkan diri dapat dilakukan, niscaya keseimbangan dalam mengelola kekuasaan negara dapat diwujudkan. Selama ini bangsa Indonesia tidak berhasil membangun keseimbangan dalam pembagian kekuasaan, sehingga mengakibatkan sering terjadinya krisis politik. Keseimbangan ini juga penting dalam mewujudkan keadilan bagi rakyat Indonesia. Keseimbangan dalam pola hubungan pusat dan daerah akan sangat menentukan utuhnya integrasi bangsa. Dan masih banyak lagi sisi kehidupan yang sangat membutuhkan adanya suatu keseimbangan agar tidak memiliki sifat fanatisme, ekstrimisme dan radikalisme. Bahkan dalam ajaran Islam, antara kepentingan akhirat dan dunia harus dijalankan secara seimbang. Hubungan antara manusia dengan Khaliknya (hablun minallah) dan antara manusia dengan manusia (hablun minannas) juga harus seimbang. Dalam kaitannya dengan demokrasi, keseimbangan merupakan faktor terpenting dalam memberikan kesamaan hak dan kewajiban bagi rakyat. Bahkan jika kita mampu mengelola kepentingan nasional, internasional dan lokal secara seimbang dalam proses demokratisasi di Indonesia, maka stabilitas ekonomi, politik dan keamanan akan terwujud.
Demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan ke dalam sebuah sistem yang merupakan alat bagi rakyat dalam menciptakan kesejahteraannya. Rakyat benar-benar ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika selama ini kita mengalami kebingungan atau kesimpangsiuran menyelenggarakan demokrasi yang tepat bagi bangsa Indonesia, maka kita harus menjadikan Pancasila sebagai parameter demokratisasi Indonesia. Dengan beberapa paradigma di atas, semoga dapat memberikan jalan agar dapat mengimplementasikan Pancasila dalam proses demokrasi kita.