BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dua dasawarsa terakhir masalah kesetaraan gender menjadi salah satu tema pembahasan akademis dan intelektual yang penting. Masalah ini banyak menarik perhatian berkaitan dengan meningkatnya apresiasi terhadap hak asasi manusia pada umumnya dan keprihatinan yang luas dan mendalam terhadap banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan di berbagai belahan dunia pada umumnya.
Keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan berbagai konvensi internasional berkaitan dengan kewajiban memberikan perlindungan hak asasi manusia termasuk jaminan perlindungan perempuan serta anak tidak terlepas tekanan dunia internasional. Pengakuan hak asasi manusia di dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional di masa lalu terbatas pada pengakuan yuridis formal belaka, sejak bergulirnya Reformasi mendapatkan momentum untuk diimplementasikan secara nyata.
B. Pokok Masalah
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum ini adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Proses penegakan hukum. Perkembangan aspirasi berkaitan dengan kesetaraan gender membawa implikasi keharusan rekonstruksi ulang pemahaman terhadap citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi kehidupan beragama.
Penataan ulang pemahaman ini sudah tentu bukan perkara mudah dilakukan, bahkan ketika secara yuridis formal telah dikonstruksikan menurut formulasi yang ideal, namun tidak dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan harapan. Dengan demikian, kendatipun bias gender dalam produk kebijakan nasional yang dikontruksikan dalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan, masih saja menjadi persoalan apakah pada tataran praktik dapat diimplementasikan dengan baik menurut kerangka konseptual filosofi yang mendasarinya.
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian perihal kebijakan hokum dalam rangka penanggulangan kejahatan di Indonesia. Masalah yang ingin dikaji di sini, yakni bagaimanakah corak kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia berkaitan dengan perlunya diakomodasi perspektif gender. Pembahasan atas masalah ini dilakukan oleh penulis dengan bertumpu pada hasil penelitian lapangan yang dilakukan di daerah Jawa Tengah. Pendekatan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah normatif empiris nondoktrinal, artinya ingin melihat seberapa jauh gagasan-gagasan filosofis yang tertuangkan di dalam produk perundang-undangan dapat terimplementasikan pada tataran empiris.
BAB II
PEMBAHASAN
Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pada hakikatnya bersifat subsider, dalam arti penggunaannya (sarana penal) diseyogyakan dengan mendahulukan sarana hukum-hukum yang lain (sarana non-penal), seperti hukum administrasi negara dan hukum keperdataan. Dalam konteks penelitian ini, telah dikemukakan di depan bahwa keterlibatan perempuan dalam kejahatan baik sebagai pelaku ataupun sebagai korban disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang bersifat kriminogenik. Dengan demikian, penanggulangan kejahatan sebenarnya harus mendahulukan perbaikan kondisi-kondisi yang bersifat struktural di dalam masyarakat.
Secara konseptual, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini hokum administrasi dan hukum keperdataan menempati kedudukan yang sama dengan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakan perundang-undangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial.
Sudarto mengartikan kebijakan hukum (a) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi masyarakat pada suatu saat; (b) kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai yang dicitacitakan. Dari pengertian tersebut, tampak keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum sebagai suatu bentuk instrumen sosial untuk mewujudkan keadaan yang dicita-citakan atau yang diinginkan oleh masyarakat, bangsa dan negara.
Kebijakan hukum mencakup didalamnya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal – criminal policy). Sudarto mendefinisikan kebijakan kriminal, suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam lingkup kebijakan kriminal, menurut Hoefnagels, tercakup di dalamnya (1) penerapan sarana hukum pidana, (2) pencegahan tanpa pemidanaan dan (3) upaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pidana dengan mendayagunakan media massa. Penggunaan sarana media massa ini dimaksudkan untuk membentuk opini publik tentang kejahatan dan penanggulanggannya.
Dalam lingkup kebijakan kriminal terdapat penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) dan sarana bukan hukum pidana (non-penal policy). Secara konseptual, kebijakan kriminal ini merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Berdasarkan pengertian yang demikian, maka dalam ruang lingkup yang luas, kebijakan kriminal ini pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial; yakni kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam lingkup pengertian mencapai kesejahteraan sosial ini perlulah dipahami, terselenggara dan terwujudnya semua tugas dan kewajiban dan tujuan Negara sebagaimana tertuang di dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni terlindunginya segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termajukannya kesejahteraan umum, tercerdaskannya kehidupan masyarakat dan terwujudnya perdamaian yang abadi.
Kebijakan sosial di Indonesia dapat dikonseptualisasikan sebagai gambaran kehidupan yang dicita-citakan, yang ingin dicapai sebagai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan sosial Indonesia dirumuskan oleh para Bapak Bangsa (The Founding Fathers) sebagai pendiri negara dan penyusun Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita atau tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti puncak dari cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merealisasikan sila kelima Pancasila dengan bertumpu pada empat sila terdahulu. Dengan demikian jelas bahwa kerangka dasar dan tujuan utama dari kebijakan sosial bangsa dan negara Indonesia adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social”. Komitmen ini kemudian dijabarkan lebih lanjut di dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya.
Kebijakan sosial tersebut kemudian diimplementasikan di dalam bentuk berbagai kebijakan lanjutan sebagai upaya untuk merealisasikan apa yang telah ditetapkan sebagai kebijakan sosial. Salah satu bentuk sarana pengejawantahan kebijakan sosial tadi adalah kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum. Berbagai kebijakan yang bersifat organik ini (sebagai sarana pengejawantahan/penjabaran lebih lanjut) dapat di identifikasi dari ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalam Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya. Selanjutnya berbagai kebijakan ini dioperasionalisasikan di dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kerangka berpikir logis bahwa kebijakan pembangunan merupakan bentuk sarana realisasi dari kebijakan sosial nasional yang meliputi kebijakan hukum, maka kebijakan pembangunan nasional di bidang hokum berfungsi sebagai pendukung bagi terwujudnya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan yang juga berarti terwujudnya tujuan nasional kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, inklusif pembangunan di bidang hukum, sesungguhnya merupakan proses perwujudan kebijakan sosial nasional.
Salah satu bidang dari kebijakan pembangunan adalah kebijakan hukum. Hukum merupakan suatu kelembagaan sosial yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kelembagaan sosial yang lain. Sifat unik ini terlihat dari kenyataan bahwa, hukum merupakan bentuk media atau sarana perwujudan bagi semua bidang kebijakan yang secara garis besar meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional. Pada prinsipnya hukum sebagai suatu bentuk kelembagaan sosial yang mewadahi kebijakan penyelenggaraan negara menjangkau semua bidang dan aspek kehidupan manusia dan mengintegrasikannya ke dalam suatu sistem sosial yang harmonis dan fungsional. Dalam teori Sibernetika dari Talcott Parson, hukum digambarkan sebagai subsistem sosial yang berfungsi mengintegrasikan semua subsistem social yang ada, sehingga memungkinkan semua bagian dari suatu sistem sosial itu dapat berfungsi/bekerja secara optimal, efektif dan efisien. Berdasarkan kerangka berpikir ini dapat pula diartikan bahwa manakala hukum tidak dapat menjalankan fungsi dengan baik sebagai sarana pengintegrasi, maka kehidupan social akan mengalami gangguan atau disintegrasi, kendati dengan kadar yang bervariasi. Keadaan yang terganggu ini pada gilirannya akan kembali menuju equilibriumnya manakala hukum dapat menjalankan fungsinya yang optimal. Kerangka berpikir demikian, merupakan argumentasi tentang perlunya pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan nasional. Pembangunan hukum nasional merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kaitan ini menurut Soehardjo Sastrosoehardjo, salah satu asas pembangunan nasional adalah asas hukum, yaitu bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional setiap warga negara dan penyelenggaraan negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan.
Sebagaimana telah disinggung didepan, kebijakan (penegakan) hokum mencakup didalamnya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Sudarto membedakan pengertian kebijakan kriminal dalam beberapa tingkatan arti, yakni dalam arti sempit, arti lebih luas, dan arti paling luas. Dalam arti sempit, kebijakan kriminal adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Sementara itu, dalam arti luas, kebijakan kriminal adalah kese-luruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Adapun dalam arti paling luas, kebijakan kriminal meru-pakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Sementara itu Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels mempunyai definisi yang berbeda, yang dapat digambarkan bahwa kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional ini merupakan konsekuensi yang logis, oleh karena di dalam melaksanakan politik, orang mengada-kan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.
Dalam melakukan pilihan di antara usaha rasional tersebut, pilihan dapat berupa penggunaan kebijakan hukum pidana (penal policy) ataupun sarana bukan-hukum pidana (non-penal policy). Dalam pelaksanaan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (sarana penal), maka penggunaan kebijakan hukum pidana (penal policy) haruslah merupakan suatu usaha yang dibuat dengan senga-ja dan sadar. Artinya, pilihan dan penetapan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang fungsional dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional. Hukum mempunyai fungsi sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Disini menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundangundangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui penegakan peraturan perundang-undangan itu.
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum ini adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hokum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.
Proses penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, factor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hokum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hokum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif, yang mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini.
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, disamping ditentukan oleh konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Semangat hukum (spirit of law) berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, peran dan visi pembentuk undang-undang sedemikian penting. Menurut Gardiner, pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, pembentuk undang-undang, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang. Dalam konteks ini, pembentuk undang-undang berkewajiban mengkreasi kebijakan dalam wujud perundang-undangan yang responsif terhadap tuntutan terwujudnya keadilan gender dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, terlihat upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini untuk melakukan penanggulangan kejahatan pada umumnya, termasuk di dalamnya penanggulangan kejahatan terhadap perempuan. Kebijakan penanggulangan kejahatan itu, sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan, ditempuh baik melalui penggunaan sarana hukum pidana (sarana penal) maupun melalui penggunaan sarana hukum bukan hukum pidana (sarana nonpenal).
Perbaikan-perbaikan yang bersifat struktural tersebut pada hakikatnya bukan merupakan bidang garap hukum pidana (kepidanaan), melainkan merupakan bidang hukum ketatanegaraan, keadministrasian dan keperdataan. Berdasarkan pemikiran demikian, berbagai produk hukum berupa kebijakan yang berdampak positif pada perbaikan kondisi-kondisi struktural dalam masyarakat juga memberikan kontribusi positif pada upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Penggunaan sarana hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan tanpa didukung atau didahului dengan perbaikan kondisi-kondisi sosial – struktural, akan berakibat hasil yang dicapai tidak akan sesuai dengan tujuan.
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa sejalan dengan meningkatnya apresiasi terhadap hak asasi manusia di dalam masyarakat Indonesia dan dunia internasional, pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan adopsinya di dalam peraturan perundang-undangan. Adopsi di dalam peraturan perundangundangan merupakan langkah awal ke arah perkembangan masyarakat sebagai upaya sosialisasi kebijakan berwawasan gender, kendatipun belum terimplementasikan dengan baik.
Momentum Reformasi nasional menjadi titik tolak penegakan hukum yang berwawasan gender secara lebih bersungguh-sungguh. Proses penegakan hukum yang dilakukan oleh berbagai institusi penegakan hukum telah berupaya mengimplementasikan kebijakan berwawasan gender sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat di dalam lembaga itu. Hingga kini masih terdapat kekurangan dalam proses implementasi kebijakan berwawasan gender yang disebabkan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana di dalam lembaga penegakan hukum tertentu seperti pengadilan.
***
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dua dasawarsa terakhir masalah kesetaraan gender menjadi salah satu tema pembahasan akademis dan intelektual yang penting. Masalah ini banyak menarik perhatian berkaitan dengan meningkatnya apresiasi terhadap hak asasi manusia pada umumnya dan keprihatinan yang luas dan mendalam terhadap banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan di berbagai belahan dunia pada umumnya.
Keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan berbagai konvensi internasional berkaitan dengan kewajiban memberikan perlindungan hak asasi manusia termasuk jaminan perlindungan perempuan serta anak tidak terlepas tekanan dunia internasional. Pengakuan hak asasi manusia di dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional di masa lalu terbatas pada pengakuan yuridis formal belaka, sejak bergulirnya Reformasi mendapatkan momentum untuk diimplementasikan secara nyata.
B. Pokok Masalah
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum ini adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Proses penegakan hukum. Perkembangan aspirasi berkaitan dengan kesetaraan gender membawa implikasi keharusan rekonstruksi ulang pemahaman terhadap citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi kehidupan beragama.
Penataan ulang pemahaman ini sudah tentu bukan perkara mudah dilakukan, bahkan ketika secara yuridis formal telah dikonstruksikan menurut formulasi yang ideal, namun tidak dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan harapan. Dengan demikian, kendatipun bias gender dalam produk kebijakan nasional yang dikontruksikan dalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan, masih saja menjadi persoalan apakah pada tataran praktik dapat diimplementasikan dengan baik menurut kerangka konseptual filosofi yang mendasarinya.
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian perihal kebijakan hokum dalam rangka penanggulangan kejahatan di Indonesia. Masalah yang ingin dikaji di sini, yakni bagaimanakah corak kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia berkaitan dengan perlunya diakomodasi perspektif gender. Pembahasan atas masalah ini dilakukan oleh penulis dengan bertumpu pada hasil penelitian lapangan yang dilakukan di daerah Jawa Tengah. Pendekatan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah normatif empiris nondoktrinal, artinya ingin melihat seberapa jauh gagasan-gagasan filosofis yang tertuangkan di dalam produk perundang-undangan dapat terimplementasikan pada tataran empiris.
BAB II
PEMBAHASAN
Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pada hakikatnya bersifat subsider, dalam arti penggunaannya (sarana penal) diseyogyakan dengan mendahulukan sarana hukum-hukum yang lain (sarana non-penal), seperti hukum administrasi negara dan hukum keperdataan. Dalam konteks penelitian ini, telah dikemukakan di depan bahwa keterlibatan perempuan dalam kejahatan baik sebagai pelaku ataupun sebagai korban disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang bersifat kriminogenik. Dengan demikian, penanggulangan kejahatan sebenarnya harus mendahulukan perbaikan kondisi-kondisi yang bersifat struktural di dalam masyarakat.
Secara konseptual, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini hokum administrasi dan hukum keperdataan menempati kedudukan yang sama dengan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakan perundang-undangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial.
Sudarto mengartikan kebijakan hukum (a) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi masyarakat pada suatu saat; (b) kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai yang dicitacitakan. Dari pengertian tersebut, tampak keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum sebagai suatu bentuk instrumen sosial untuk mewujudkan keadaan yang dicita-citakan atau yang diinginkan oleh masyarakat, bangsa dan negara.
Kebijakan hukum mencakup didalamnya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal – criminal policy). Sudarto mendefinisikan kebijakan kriminal, suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam lingkup kebijakan kriminal, menurut Hoefnagels, tercakup di dalamnya (1) penerapan sarana hukum pidana, (2) pencegahan tanpa pemidanaan dan (3) upaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pidana dengan mendayagunakan media massa. Penggunaan sarana media massa ini dimaksudkan untuk membentuk opini publik tentang kejahatan dan penanggulanggannya.
Dalam lingkup kebijakan kriminal terdapat penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) dan sarana bukan hukum pidana (non-penal policy). Secara konseptual, kebijakan kriminal ini merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Berdasarkan pengertian yang demikian, maka dalam ruang lingkup yang luas, kebijakan kriminal ini pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial; yakni kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam lingkup pengertian mencapai kesejahteraan sosial ini perlulah dipahami, terselenggara dan terwujudnya semua tugas dan kewajiban dan tujuan Negara sebagaimana tertuang di dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni terlindunginya segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termajukannya kesejahteraan umum, tercerdaskannya kehidupan masyarakat dan terwujudnya perdamaian yang abadi.
Kebijakan sosial di Indonesia dapat dikonseptualisasikan sebagai gambaran kehidupan yang dicita-citakan, yang ingin dicapai sebagai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan sosial Indonesia dirumuskan oleh para Bapak Bangsa (The Founding Fathers) sebagai pendiri negara dan penyusun Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita atau tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti puncak dari cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merealisasikan sila kelima Pancasila dengan bertumpu pada empat sila terdahulu. Dengan demikian jelas bahwa kerangka dasar dan tujuan utama dari kebijakan sosial bangsa dan negara Indonesia adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social”. Komitmen ini kemudian dijabarkan lebih lanjut di dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya.
Kebijakan sosial tersebut kemudian diimplementasikan di dalam bentuk berbagai kebijakan lanjutan sebagai upaya untuk merealisasikan apa yang telah ditetapkan sebagai kebijakan sosial. Salah satu bentuk sarana pengejawantahan kebijakan sosial tadi adalah kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum. Berbagai kebijakan yang bersifat organik ini (sebagai sarana pengejawantahan/penjabaran lebih lanjut) dapat di identifikasi dari ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalam Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya. Selanjutnya berbagai kebijakan ini dioperasionalisasikan di dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kerangka berpikir logis bahwa kebijakan pembangunan merupakan bentuk sarana realisasi dari kebijakan sosial nasional yang meliputi kebijakan hukum, maka kebijakan pembangunan nasional di bidang hokum berfungsi sebagai pendukung bagi terwujudnya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan yang juga berarti terwujudnya tujuan nasional kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, inklusif pembangunan di bidang hukum, sesungguhnya merupakan proses perwujudan kebijakan sosial nasional.
Salah satu bidang dari kebijakan pembangunan adalah kebijakan hukum. Hukum merupakan suatu kelembagaan sosial yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kelembagaan sosial yang lain. Sifat unik ini terlihat dari kenyataan bahwa, hukum merupakan bentuk media atau sarana perwujudan bagi semua bidang kebijakan yang secara garis besar meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional. Pada prinsipnya hukum sebagai suatu bentuk kelembagaan sosial yang mewadahi kebijakan penyelenggaraan negara menjangkau semua bidang dan aspek kehidupan manusia dan mengintegrasikannya ke dalam suatu sistem sosial yang harmonis dan fungsional. Dalam teori Sibernetika dari Talcott Parson, hukum digambarkan sebagai subsistem sosial yang berfungsi mengintegrasikan semua subsistem social yang ada, sehingga memungkinkan semua bagian dari suatu sistem sosial itu dapat berfungsi/bekerja secara optimal, efektif dan efisien. Berdasarkan kerangka berpikir ini dapat pula diartikan bahwa manakala hukum tidak dapat menjalankan fungsi dengan baik sebagai sarana pengintegrasi, maka kehidupan social akan mengalami gangguan atau disintegrasi, kendati dengan kadar yang bervariasi. Keadaan yang terganggu ini pada gilirannya akan kembali menuju equilibriumnya manakala hukum dapat menjalankan fungsinya yang optimal. Kerangka berpikir demikian, merupakan argumentasi tentang perlunya pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan nasional. Pembangunan hukum nasional merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kaitan ini menurut Soehardjo Sastrosoehardjo, salah satu asas pembangunan nasional adalah asas hukum, yaitu bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional setiap warga negara dan penyelenggaraan negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan.
Sebagaimana telah disinggung didepan, kebijakan (penegakan) hokum mencakup didalamnya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Sudarto membedakan pengertian kebijakan kriminal dalam beberapa tingkatan arti, yakni dalam arti sempit, arti lebih luas, dan arti paling luas. Dalam arti sempit, kebijakan kriminal adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Sementara itu, dalam arti luas, kebijakan kriminal adalah kese-luruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Adapun dalam arti paling luas, kebijakan kriminal meru-pakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Sementara itu Marc Ancel dan G. Peter Hoefnagels mempunyai definisi yang berbeda, yang dapat digambarkan bahwa kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional ini merupakan konsekuensi yang logis, oleh karena di dalam melaksanakan politik, orang mengada-kan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.
Dalam melakukan pilihan di antara usaha rasional tersebut, pilihan dapat berupa penggunaan kebijakan hukum pidana (penal policy) ataupun sarana bukan-hukum pidana (non-penal policy). Dalam pelaksanaan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (sarana penal), maka penggunaan kebijakan hukum pidana (penal policy) haruslah merupakan suatu usaha yang dibuat dengan senga-ja dan sadar. Artinya, pilihan dan penetapan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang fungsional dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional. Hukum mempunyai fungsi sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Disini menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundangundangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui penegakan peraturan perundang-undangan itu.
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum ini adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hokum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.
Proses penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, factor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hokum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hokum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif, yang mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat. Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini.
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, disamping ditentukan oleh konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Semangat hukum (spirit of law) berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, peran dan visi pembentuk undang-undang sedemikian penting. Menurut Gardiner, pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, pembentuk undang-undang, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang. Dalam konteks ini, pembentuk undang-undang berkewajiban mengkreasi kebijakan dalam wujud perundang-undangan yang responsif terhadap tuntutan terwujudnya keadilan gender dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, terlihat upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini untuk melakukan penanggulangan kejahatan pada umumnya, termasuk di dalamnya penanggulangan kejahatan terhadap perempuan. Kebijakan penanggulangan kejahatan itu, sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan, ditempuh baik melalui penggunaan sarana hukum pidana (sarana penal) maupun melalui penggunaan sarana hukum bukan hukum pidana (sarana nonpenal).
Perbaikan-perbaikan yang bersifat struktural tersebut pada hakikatnya bukan merupakan bidang garap hukum pidana (kepidanaan), melainkan merupakan bidang hukum ketatanegaraan, keadministrasian dan keperdataan. Berdasarkan pemikiran demikian, berbagai produk hukum berupa kebijakan yang berdampak positif pada perbaikan kondisi-kondisi struktural dalam masyarakat juga memberikan kontribusi positif pada upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Penggunaan sarana hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan tanpa didukung atau didahului dengan perbaikan kondisi-kondisi sosial – struktural, akan berakibat hasil yang dicapai tidak akan sesuai dengan tujuan.
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa sejalan dengan meningkatnya apresiasi terhadap hak asasi manusia di dalam masyarakat Indonesia dan dunia internasional, pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan adopsinya di dalam peraturan perundang-undangan. Adopsi di dalam peraturan perundangundangan merupakan langkah awal ke arah perkembangan masyarakat sebagai upaya sosialisasi kebijakan berwawasan gender, kendatipun belum terimplementasikan dengan baik.
Momentum Reformasi nasional menjadi titik tolak penegakan hukum yang berwawasan gender secara lebih bersungguh-sungguh. Proses penegakan hukum yang dilakukan oleh berbagai institusi penegakan hukum telah berupaya mengimplementasikan kebijakan berwawasan gender sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat di dalam lembaga itu. Hingga kini masih terdapat kekurangan dalam proses implementasi kebijakan berwawasan gender yang disebabkan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana di dalam lembaga penegakan hukum tertentu seperti pengadilan.
***